Halaman Muka

Mengenai Saya

Foto saya
Kita bangun kebersamaan melalui komunikasi tanpa batas ini

Kamis, 13 Mei 2010

BAGAIMANA MENJADI PEGAWAI YANG AMANAH3




BAGAIMANA MENJADI PEGAWAI YANG AMANAH? 

 

 

Oleh 

Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad 

 

 

 

MUKADIMAH 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas penyempurna
dan pelengkap agama dan penghulu para rasul serta imam orang-orang yang
bertaqwa
nabi kita, Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat.
Amma ba’du 

 

Ini adalah risalah singkat berupa nasihat untuk para pegawai dan karyawan
dalam menunaikan pekerjaan-pekerjaan yang diamanahkan kepada mereka.
Aku menulisnya dengan harapan agar mereka mendapat manfaat darinya,
dan supaya mambantu mereka untuk mengikhlaskan niat-niat mereka serta
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan menjalankan kewajiban-kewajiban
mereka. Aku memohon kepada Allah agar semua mendapatkan taufik dan bimbingan-Nya. 

 

[1]. AYAT-AYAT MENGENAI KEWAJIBAN MENUNAIKAN AMANAH 

Diantara ayat-ayat mengenai kewajiban menunaikan amanah dan larangan
berkhianat adalah firman Allah Azza wa Jalla. 

 

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [An-Nisa : 58] 

 

Ibnu Katsir berkata dalam tafsir ayat ini, “Allah Ta’ala memberitakan
bahwasanya Ia memerintahkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada ahlinya.
Di dalam hadits yang hasan dari Samurah bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda. 

 

“Artinya : Tunaikan amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu,
dan janganlah kamu menghianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Ahlussunnan] 

 

Dan ini mencakup semua bentuk amanah-amanah yang wajib atas manusia
mulai dari hak-hak Allah Azza wa Jalla atas hamba-hamba-Nya seperti
: shalat, zakat, puasa, kaffarat, nazar-nazar dan lain sebagainya. Dimana
ia diamanahkan atasnya dan tidak seorang hamba pun mengetahuinya, sampai
kepada hak-hak sesama hamba, seperti ; titipan dan lain sebagainya dari
apa-apa yang mereka amanahkan tanpa mengetahui adanya bukti atas itu.
Maka Allah memerintahkan untuk menunaikannya, barangsiapa yang tidak
menunaikannya di dunia diambil darinya pada hari Kiamat”. 

 

Dan firman-Nya. 

 

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah
yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui” [Al-Anfal :
27] 

 

Ibnu Katsir berkata, “Dan khianat mencakup dosa-dosa kecil dan besar
yang lazim (yang tidak terkait dengan orang lain) dan muta’addi (yang
terkait dengan orang lain). Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas
mengenai tafsir ayat ini, “Dan kalian mengkhianati amanah-amanah kalian”.
Amanah adalah ama-amal yang diamanahakn Allah kepada hamba-hamba-Nya,
yaitu faridhah ( yang wajib), Allah berfirman : “Janganlah kamu mengkhianati”
maksudnya : janganlah kamu merusaknya”. Dan dalam riwayat lain ia
berkata, “(Janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul) Ibnu Abbas
berkata, “(Yaitu) dengan meninggalkan sunnahnya dan bermaksiat kepadanya”. 

 

Dan firman-Nya. 

 

“Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia,
sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” [Al-Ahzab : 72] 

 

Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan pendapat-pendapat mengenai tafsir
amanah, diantaranya ketaatan, kewajiban, din (agama), dan hukum-hukum
had, ia berkata, “Dan semua pendapat ini tidak saling bertentangan,
bahkan ia sesuai dan kembali kepada satu makna, yaitu at-taklif serta
menerima perintah dan larangan dengan syaratnya. Dan jika melaksanakan
ia mendapat pahala, jika meninggalkannya dihukum, maka manusia menerimanya
dengan kelemahan, kejahilan, dan kezalimannya kecuali orang-orang yang
diberi taufik oleh Allah, dan hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan”. 

 

Firman Allah Ta’ala. 

 

“Artinya : Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya)
dan janji-janji” [Al-Mukminun : 8] 

 

Ibnu Katsir berkata, “Yaitu, apabila mereka diberi kepercayaan mereka
tidak berkhianat, dan apabila berjanji mereka tidak mungkir, ini adalah
sifat-sifat orang mukminin dan lawannya adalah sifat-sifat munafikin,
sebagaimana tercantum dalam hadis yang shahih. 

 

“Tanda munafik ada tiga : apabila berbicara berdusta, apabaila berjanji
ia mungkir dan apabila diberi amanat dia berkhianat”. 

 

Dalam riwayat lain. 

 

“Apabila berbicara ia berdusta, dan apabila berjanji ia mungkir dan
apabila bertengkar ia berlaku keji”. 

 

[2]. HADITS-HADITS TENTANG MENUNAIKAN AMANAH 

Diantara hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
kewajiban menjaga amanah dan ancaman dari meninggalkannya adalah sebagai
berikut. 

 

Hadits Pertama. 

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara
kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan
terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata,
‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’,
sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga
tatkala beliau menyelesaikan pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana
orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai
Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka
tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’
Beliau menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya
maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-Bukhari] 

 

Hadits Kedua 

Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah telah bersabda, “Tunaikanlah
amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu
mengkhianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud
3535 dan At-Tirmidzi 1264, ia berkata, “ini adalah hadits hasan gharib”.
Lihatlah, As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 424] 

 

Hadits Ketiga 

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, Yang pertama hilang dari urusan agama
kalian adalah amanah, dan yang terakhirnya adalah shalat” [Diriwayatkan
oleh Al-Khara-ithi dalam Makarimil Akhlak hal. 28. Lihat, As-Silsilah
Ash-Shahihah oleh Al-Albani 1739] 

 

Hadits Keempat. 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam beliau bersabda, “Tanda seorang munafik ada tiga : apabila
berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkir, dan apabila diberi
amanah ia berkhianat” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim] 

 

[3]. PEGAWAI YANG MENUNAIKAN PEKERJAANNYA DENGAN IKHLAS MENDAPAT BALASAN
DUNIA DAN AKHIRAT 

Apabila seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh
mengharapkan pahala dari Allah, maka ia telah menunaikan kewajibannya
dan berhak mendapatkan balasan atas pekerjaannya di dunia dan beruntung
dengan pahala di kampung akhirat. Telah datang nash-nash syar’iyah
yang menunjukkan bahwasanya upah dan pahala atas apa yang dikerjakan
oleh seorang dari pekerjaan didapat dengan ikhlas dan mengharapkan wajah
Allah.  

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. 

 

“Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia.
Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah,
maka kelak Kami memberi kepada-Nya pahala yang besar” [An-Nisa : 114] 

 

Imam Bukhari (55) dan Imam Muslim (1002) telah meriwayatkan dari Abu
Mas’ud bahwasanya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda. 

 

“Artinya : Apabila seseorang menafkahkan untuk keluarganya dengan
ikhlas maka itu baginya adalah sedekah”. 

 

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad
bin Abi Waqash Radhiyallahu ‘anhu. 

 

“Artinya : Dan tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah karena mengharapkan
wajah Allah melainkan engkau mendapatkan pahala dengannya hingga sesuap
yang engkau suapkan di mulu istrimu” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan
Muslim] 

 

Nash-nash ini menunjukkan bahwasanya seorang Muslim apabila ia menunaikan
kewajibannya terhadap sesama hamba lepaslah tanggung jawabnya, dan bahwasanya
ia hanya akan mendapatkan balasan dan pahala dengan ikhlas dan mengharapkan
wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

 

[4]. MENJAGA JAM KERJA UNTUK KEPENTINGAN PEKERJAAN 

Wajib atas setiap pegawai dan pekerja untuk menggunakan waktu yang telah
dikhususkan bekerja pada pekerjaan yang telah dikhususkan untuknya.
Tidak boleh ia menggunakannya pada perkara-perkara lain selain pekerjaan
yang wajib ditunaikannya pada waktu tersebut. Dan tidak boleh ia menggunakan
waktu itu atau sebagian darinya untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan
orang lain apabila tidak ada kaitannya dengan pekerjaan ; karena jam
kerja bukanlah milik pegawai atau pekerja, akan tetapi untuk kepentingan
pekerjaan yang ia mengambil upah dengannya. 

 

Syaikh Al-Mu’ammar bin Ali Al-Baghdadi (507H) telah menasihati Perdana
Menteri Nizhamul Muluk dengan nasihat yang dalam dan berfedah. Di antara
yang dikatakannya diawal nasihatnya itu. 

 

“Suatu hal yang telah maklum hai Shodrul Islam! Bahwasanya setiap
individu masyarakat bebas untuk datang dan pergi, jika mereka menghendaki
mereka bisa meneruskan dan memutuskan. Adapun orang yang terpilih menjabat
kepemimpinan maka dia tidak bebas untuk bepergian, karena orang yang
berada di atas pemerintahan adalah amir (pemimpin) dan dia pada hakikatnya
orang upahan, ia telah menjual waktunya dan mengambil gajinya. Maka
tidak tersisa dari siangnya yang dia gunakan sesuai keinginannya, dan
dia tidak boleh shalat sunat, serta I’tikaf… karena itu adalah keutamaan
sedangkan ini adalah wajib”. 

 

Di antara nasihatnya, “Maka hiudpkanlah kuburanmu sebagaimana engkau
menghidupkan istanamu” [1] 

 

Dan sebagaimana seseorang ingin mengambil upahnya dengan sempurna serta
tidak ingin dikurangi bagiannya sedikitpun, maka hendaklah ia tidak
mengurangi sedikitpun dari jam kerjanya untuk sesuatu yang bukan kepentingan
kerja. Allah telah mencela Al-Muthaffifin (orang-orang yang curang)
dalam timbangan, yang menuntut hak mereka dengan sempurna dan mengurangi
hak-hak orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. 

 

“Artinya : Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta
dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi. Tidaklah oran-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. Yaitu hari ketika
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” [Al-Muthaffifin : 1-6] 

 

[Disalin dari kitab Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al-Amanah, Penulis Syaikh
Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad, Penerjemah Agustimar Putra, Penerbit
Darul Falah, Jakarta 2006] 

_________ 

Foote Note 

[1]. Dzailul Thabaqat Al-Hanabilah oleh Ibnu Rajab (1/107)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar