Halaman Muka

Mengenai Saya

Foto saya
Kita bangun kebersamaan melalui komunikasi tanpa batas ini

Jumat, 21 Mei 2010

akar terorisme

31 July 2009 | 4 komentar

Kategori: Manhaj

Akar Terorisme di Tubuh Umat (bag. 1)

Terorisme seringkali ditudingkan kepada umat Islam. Sebagian orang yang cemburu kepada agamanya mengira bahwa tudingan itu hanya sekedar propaganda barat untuk menjatuhkan harga diri kaum muslimin di mata dunia  internasional. Sehingga mereka senantiasa menuduh barat (baca: Amerika, khususnya Yahudi) sebagai dalang di balik semua peristiwa semacam ini. Sebagian lagi justru sebaliknya, mengira bahwa terorisme -dengan melakukan pengeboman di tempat-tempat umum- merupakan bagian dari jihad fi sabilillah dan tergolong amal salih yang paling utama. Sehingga mereka beranggapan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah sosok mujahid dan mati syahid. Itulah sekilas dua cara pandang yang bertolak belakang mengenai berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di negeri-negeri Islam atau di negeri kafir yang banyak menelan korban warga sipil.

Terlepas dari apa yang mereka sangka, sebenarnya kita bisa melihat dengan kaca mata yang adil dan objektif bahwa di samping adanya makar musuh-musuh Islam dari luar, sebenarnya kita juga menghadapi  musuh-musuh dalam selimut yang berupaya meruntuhkan kekuatan umat dari dalam. Salah satu di antara mereka adalah sekte Khawarij di masa silam dan para penganut pemikiran sekte tersebut di masa kini yang gemar melakukan aksi teror dengan mengatasnamakan jihad. Mereka menampakkan diri sebagai kaum muslimin yang punya komitmen terhadap agama, berpenampilan seperti layaknya orang-orang salih dan taat, dan bersikap seakan-akan membela ajaran Islam, namun sebenarnya mereka sedang melakukan upaya penghancuran Islam dari dalam, sadar ataupun tidak!

Sejarah Hitam Sekte Khawarij

Tidakkah kita ingat sejarah hitam kaum Khawarij yang diabadikan di dalam kitab-kitab hadits? Sebuah sekte yang diperselisihkan status keislamannya oleh para ulama (yang kuat mereka tidak dikafirkan, lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/390 dan 393]). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ciri khas pandai membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, suka mengusung slogan keadilan dan pembelaan rakyat yang tertindas guna menghalalkan pemberontakan kepada penguasa muslim. Berawal dari kedangkalan berpikir mereka, akhirnya hal itu menyeret mereka ke jurang kebid’ahan yang mengerikan. Mereka bunuhi umat Islam sementara para pegiat kemusyrikan justru mereka biarkan.

Munculnya sosok pengacau yang bengis namun berpenampilan salih seperti itu pernah terjadi di masa hidup Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma. Ketika itu, ada sebagian penduduk Bashrah yang terseret pemahaman Qadariyah -menolak takdir- yang diusung oleh sekelompok orang yang pandai membaca al-Qur’an dan memiliki banyak wawasan keilmuan dengan tokoh mereka Ma’bad al-Juhani, sebagaimana disebutkan di bagian awal kitab al-Iman dalam Shahih Muslim. Yahya bin Ya’mar -sang periwayat hadits ini- mengadukan problematika umat yang terjadi di masyarakatnya kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma,

أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ – وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ – وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لاَ قَدَرَ وَأَنَّ الأَمْرَ أُنُفٌ

“Wahai Abu Abdirrahman! Sesungguhnya di tengah-tengah kami muncul sekelompok orang yang suka membaca al-Qur’an dan mengumpulkan berbagai jenis ilmu -lalu dia menceritakan sebagian keadaan mereka lainnya- namun mereka menyangka bahwa takdir itu tidak ada dan segala urusan terjadi dengan sendirinya.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim. Cet. 1427 penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.27)

Nah, berikut ini kami nukilkan sebagian hadits yang mengisahkan tentang kekejian manhaj kaum Khawarij dan sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat dalam menghadapi mereka. Agar jelas bagi siapa saja bahwa sikap ulama Ahlus Sunnah as-Salafiyun dalam memerangi Khawarij dan pemikiran mereka bukanlah karena motif menjilat penguasa atau mencari muka di hadapan mereka, namun hal itu mereka lakukan semata-mata demi ‘melanjutkan kehidupan Islam’ sebagaimana yang mereka inginkan, dan tentu saja dengan cara meneladani metode perjuangan generasi terbaik dari umat ini.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,

أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِى ثَوْبِ بِلاَلٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِى النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ. قَالَ « وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ». فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنه دَعْنِى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ. فَقَالَ « مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّى أَقْتُلُ أَصْحَابِى إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ».

“Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ji’ranah -nama tempat- sepulangnya beliau dari -peperangan- Hunain, ketika itu di atas kain Bilal terdapat perak yang diambil sedikit demi sedikit oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibagikan kepada orang-orang. Kemudian lelaki itu mengatakan, ‘Hai Muhammad, berbuat adillah!’. Maka Nabi menjawab, ‘Celaka kamu! Lalu siapa lagi yang mampu berbuat adil jika aku tidak berbuat adil. Sungguh kamu pasti telah celaka dan merugi jika aku tidak berbuat adil.’ Maka Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu berkata, ‘Biarkanlah saya wahai Rasulullah untuk menghabisi orang munafiq ini.’ Maka beliau bersabda, ‘Aku berlindung kepada Allah, jangan sampai orang-orang nanti mengatakan bahwa aku telah membunuh para sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar darinya sebagaimana keluarnya anak panah yang menembus  sasaran bidiknya.’” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/389] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesungguhnya di belakang orang ini akan muncul suatu kaum yang rajin membaca al-Qur’an namun tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka membunuhi umat Islam dan justru meninggalkan para pemuja berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari sasaran bidiknya. Apabila aku menemui mereka, niscaya aku akan membunuh mereka dengan cara sebagaimana terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Di dalam hadits ini terkandung dorongan untuk memerangi mereka -yaitu Khawarij- serta menunjukkan keutamaan Ali radhiyallahu’anhu yang telah memerangi mereka.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/391] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Mereka bukanlah orang yang malas beribadah, bahkan mereka adalah sosok yang menakjubkan dalam ketekunan dan kesungguhan beribadah. Namun di sisi yang lain, mereka telah menyimpang dari manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sehingga membuat mereka layak menerima ancaman dan hukuman yang sangat-sangat berat, yaitu hukum bunuh!

Dalam teks riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka,

فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ

“Sesungguhnya orang ini -Dzul Khuwaishirah, gembong Khawarij, pent- akan memiliki pengikut-pengikut yang membuat salah seorang di antara kalian meremehkan sholatnya apabila dibandingkan dengan sholat mereka, dan meremehkan puasanya apabila dibandingkan dengan puasa mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan muncul di akhir masa ini nanti sekelompok orang yang umurnya masih muda-muda dan lemah akalnya. Apa yang mereka ucapkan adalah perkataan manusia yang terbaik. Mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama seperti halnya anak panah yang melesat dari sasaran bidiknya. Apabila kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya dengan terbunuhnya mereka maka orang yang membunuhnya itu akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Hadits ini menegaskan wajibnya memerangi Khawarij dan pemberontak negara, dan hal itu merupakan perkara yang telah disepakati oleh segenap ulama.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/397] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu -salah seorang bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- menceritakan bahwa ketika terjadi pemberontakan kaum Haruriyah (Khawarij) sedangkan saat itu dia bersama pihak Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, mereka -kaum Khawarij- mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Maka Ali bin Abi Thalib pun menanggapi ucapan mereka dengan mengatakan, “Itu adalah ucapan yang benar namun dipakai dengan maksud yang batil…” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)

Dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan tentang betapa buruknya mereka,

هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ

“Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu)

Keamanan Adalah Nikmat yang Harus Disyukuri

Ketahuilah saudaraku -semoga Allah membimbing kita berjalan di atas jalan yang lurus- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membuat keonaran dan kekacauan di masyarakat. Nabi memerintahkan untuk taat kepada penguasa muslim selama bukan dalam hal maksiat dan melarang rakyat memberontak kepada mereka sezalim apapun mereka -selama mereka masih sholat dan tidak melakukan kekafiran yang nyata yang kita memiliki bukti yang sangat jelas atasnya- serta melarang dari tindakan mengobral aib-aib pemerintah di muka umum. Itu semua disyari’atkan demi terpeliharanya sebuah nikmat yang agung yaitu stabilitas keamanan negara dan ketentraman umum.

Keamanan adalah nikmat yang agung dan harus dipelihara, tidakkah kita ingat doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada Rabbnya,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini aman tentram, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung…’” (Qs. Ibrahim: 35)

Yang dimaksud ‘negeri’ dalam ayat di atas adalah tanah suci Mekah (lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Aayil Qur’an [17/ 17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)

Doa meminta keamanan ini pun dikisahkan di dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa; ‘Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini aman tentram dan curahkanlah rezeki kepada penduduknya dari berbagai jenis buah-buahan, yaitu kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara mereka…’” (Qs. al-Baqarah: 126)

Maka Allah pun kabulkan doa beliau, sebagaimana dalam firman-Nya,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ

“Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok.” (Qs. al-Ankabut: 67)

Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah meriwayatkan dari Mujahid tentang tafsiran surat Ibrahim ayat 35 di atas bahwa beliau mengatakan, “…Allah mengabulkan doa beliau, yaitu dengan menjadikan negeri tersebut (Mekah) aman, mencurahkan rezeki kepada penduduknya dengan berbagai jenis buah-buahan, menjadikan beliau sebagai sosok imam/pemimpin teladan, menjadikan keturunanannya sebagai orang yang mendirikan sholat, dan Allah pun mengabulkan permintaannya…” (Jami’ al-Bayan [17/17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)

Allah juga memerintahkan untuk mensyukuri nikmat keamanan dengan beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman,

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ  الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

“Maka hendaknya mereka beribadah kepada Rabb pemilik rumah/Ka’bah ini, yaitu yang telah memberikan makanan kepada mereka sehingga terbebas dari kelaparan, dan memberikan keamanan kepada mereka sehingga terlepas dari cekaman ketakutan.” (Qs. Quraisy: 3-4)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengaruniakan kepada mereka keamanan dan murahnya segala sesuatu diperoleh di sana, maka semestinya mereka mengesakan-Nya semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah dan tidak justru menyembah kepada selain-Nya, entah itu berujud patung, sesembahan tandingan, ataupun berhala dalam bentuk apa saja.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/593] cet. 1417 Penerbit Dar al-Fikr)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Rezeki yang melimpah ruah dan rasa aman dari cekaman ketakutan termasuk nikmat keduniaan yang paling besar, yang sudah semestinya melahirkan sikap dan perilaku bersyukur kepada Allah ta’ala.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1305] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)

Maka ayat yang mulia di atas mengajarkan kepada kita untuk mensyukuri nikmat keamanan, sedangkan bentuk syukur yang paling agung -bahkan yang menjadi pokoknya- adalah dengan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam beribadah. Termasuk dalam realisasi rasa syukur ini adalah dengan memelihara keamanan dan tidak merusaknya dengan berbagai bentuk teror dan kekacauan.

Oleh karena itulah, dakwah tauhid yang diserukan oleh para ulama Ahlus Sunnah di sepanjang jaman senantiasa memperhatikan hal ini yaitu terjaganya keamanan dan ketentraman umum serta keselamatan umat dari kekacauan politik dan sosial serta menyingkirkan ambisi-ambisi pribadi atau golongan yang ingin meraih tampuk kekuasaan -walaupun dengan tujuan memberantas kemungkaran-. Sebab dengan  stabilitas keamanan itulah akan muncul manfaat yang meluas bagi masyarakat secara umum dan umat Islam pada khususnya, dan Ahlus Sunnah terlebih khusus lagi.

Tidakkah anda ingat kisah kesabaran Imam Ahmad bin Hanbal -salah seorang imam Ahlus Sunnah- semoga Allah merahmatinya? Beliau rela disiksa dan menahan kejamnya hukuman penguasa yang zalim. Beliau tidak mengajak ribuan pengikutnya untuk berdemonstrasi serta memberontak kepada penguasa tatkala itu, padahal beliau berada di pihak yang benar. Karena tekanan itu pula, beliau terpaksa mendekam di dalam penjara selama tiga masa pemerintahan. Ingatlah juga, kesabaran para sahabat ketika menghadapi kekejaman al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Kenapa penderitaan yang sedemikian berat itu rela mereka tanggung? Hal itu tidak lain dikarenakan mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa maslahat yang didapatkan dengan tidak memberontak dan tetap berada di bawah satu kepimpinan yang sah dan diakui merupakan salah satu sebab utama keamanan dan stabilitas negara.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang fajir dan siapa pun yang menduduki tampuk khilafah, yang umat manusia telah bersatu di bawah kekuasaannya dan ridha kepadanya. Demikian juga terhadap orang yang berhasil menggulingkan kekuasaan mereka dengan pedang/senjata sehingga merebut posisi khalifah dan dijuluki sebagai Amirul Mukminin.” (Ushul as-Sunnah yang dicetak bersama Syarah Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafzihahullah, hal. 51 Penerbit Dar al-Minhaj cet. 1428 H)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu’anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah! Bagaimana pendapat anda jika ada pemimpin-pemimpin yang menguasai kami yang meminta agar hak-hak mereka dipenuhi namun mereka menghalangi kami dari mendapatkan hak-hak kami, maka apakah yang anda perintahkan kepada kami di saat seperti itu?” Maka beliau pun berpaling darinya. Lalu dia pun bertanya kembali kepada beliau dan beliau pun berpaling darinya. Lalu dia bertanya untuk kedua atau ketiga kalinya maka al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu’anhu pun menariknya seraya mengatakan (ketika itu Nabi hadir dan tidak mengingkari ucapannya, pent),

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Tetaplah kamu mendengar dan taat. Sesungguhnya dosa yang mereka lakukan itu adalah tanggungan mereka, dan wajib bagi kalian menunaikan apa yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dalam hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan bahwa akan muncul sesudah beliau wafat para pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan Sunnah beliau. Di antara mereka terdapat orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan yang menjelma di dalam tubuh manusia. Mendengar hal itu Huzdaifah pun bertanya, “Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah, jika saya menemui hal itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya- bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Tetaplah kamu mendengar dan patuh kepada pemimpin, meskipun punggungmu harus dipukuli dan hartamu diambil. Kamu harus bersikap mendengar dan patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi bersabda,

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ « لاَ مَا صَلَّوْا ». أَىْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ.

“Sesungguhnya akan menguasai kalian pemimpin-pemimpin yang kalian kenali kekeliruan mereka dan kalian pun mengingkarinya. Barang siapa yang membenci hal itu sungguh dia telah berlepas diri darinya. Dan barang siapa yang mengingkari sungguh telah selamat. Akan tetapi yang salah ialah apabila orang justru meridhai dan setia mengikuti kekeliruannya.” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya kami perangi saja mereka itu?” Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih melaksanakan sholat.” Arti ungkapan di atas adalah, “Barang siapa yang membenci dengan hatinya dan mengingkari dengan hatinya.” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak mampu menghilangkan kemungkaran maka dia tidak berdosa semata-mata karena dia bersikap diam. Akan tetapi dia menjadi berdosa apabila dia meridhainya, tidak mau membencinya dengan hati, atau justru dengan setia mengikutinya.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [6/485] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Camkanlah hadits-hadits di atas baik-baik, wahai para pemuda!
Pikirkanlah masak-masak dampak yang akan muncul di esok hari sebagai akibat dari tindakan kita…

***

3 August 2009 | 0 komentar

Kategori: Manhaj

Bai’at Antara yang Sunnah dan yang Bid’ah (bag. 2)

كذلك, هذه البيعة كان لها أثرها الكبير في الفتنة حتى بين أهل هذه البيعة الواحدة. فينشأ عند رجل فكرة فلا يجد من يشفي غليله فيها و يطالب بالسكوت و يقال له من اعترض انطرد  ويهدد: أنت أفضل من فلان و أعلم و يفعل غير ذلك. فتبقي الفكرة تختمر في ذهنه و في قلبه و تطور يوما بعد يوم ولا يجد من ينفعه و يفيده. فإما أن يفجر مشكلة مع هؤلاء و إما يسحب بكلية و يترك هؤلاء و ؤلاء. أما هؤلاء لأنه عرف ما عندهم و أما هؤلاء لإنه قد حذر منهم و اقتنع بأنهم لا يقترب منهم من قريب و لا من بعيد. الأمر الذي يؤدي في النهاية ربما إلى الانتكاسة


Dampak buruk yang keempat, bai’at semacam ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi timbulnya berbagai problem bahkan di antara sesama anggota dalam satu kelompok. Ada salah satu anggota yang memiliki suatu pemikiran (boleh jadi bersifat kritikan, pent) namun dia tidak menjumpai orang yang bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Bahkan dia diharuskan untuk diam dan mendapatkan ancaman, “Siapa yang ngeyel pasti akan didepak.” Dia juga ditakut-takuti, “Apakah kamu ini lebih baik dan lebih pintar dari pada A.” (pada kenyataannya si A tidak pernah mempermasalahkannya, pent). Dia juga mendapat perlakuan yang lain.

Akhirnya pemikiran tersebut hanya tersimpan dalam benaknya dan terus berkembang seiring berjalannya waktu karena tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Sehingga dia dihadapkan pada dua pilihan antara membuat masalah dengan kelompoknya sendiri atau menarik diri dari dunia dakwah secara total tidak lagi bersama kelompoknya namun juga tidak bersama yang lain.

Tidak lagi bersama kelompoknya karena dia telah mengetahui borok kelompoknya. Tidak juga bersama yang lain karena dia telah diingatkan oleh kelompoknya tentang borok yang ada pada kelompok di luar kelompoknya yang dulu. Dia juga sudah yakin tentang tidak bolehnya mendekati kelompok-kelompok yang lain. Hal ini boleh jadi menyebabkan dirinya menjadi berbalik (menjadi orang awam lagi, pent).

هذه البيعة أصبحت حجرا أطرا و حائلا بين الناس و بين كثير من وجوه الخير. كيف يقال بعد هذا أنها كبيعة الرسول و الصحابة, كبيعة الرسول- لما قال بايعوني على كذا و كذا. فرق كبير ينبغي أن يوضع الاستدلال في موضعه

Nyata sudah, bahwa bai’at-bai’at semacam ini menjadi batu penghambat dan tirai yang menghalangi banyak orang untuk mendapatkan berbagai kebaikan. Setelah penjelasan di atas, bagaimana mungkin kita katakan bahwa baiat semacam ini semisal dengan bai’at Rasul dengan para shahabat, sebagaimana bai’at Rasul tatkala berkata kepada para shahabat, “Bai’atlah aku untuk demikian dan demikian.” Terdapat perbedaan yang sangat di antara dua baiat ini. Sepatutnya kita letakkan dalil pada tempatnya yang tepat.

عندما يقال إن النبي-عليه الصلاة و السلام-قد شرع الإمارة في الاجتماع القليل الطارئ في السفر فمن باب الأولي أن يكون ذلك في الاجتماع العظيم المستقر نقول:نعم, لكن في موضعه و في بابه. في السفر نعم. أما إذا كنا مستقرين فلماذا؟ إذا كنا مستقرين فالناس يرجعون إلى والي أمرهم. هناك والي الأمر. الناس يسمعون و يطيعون. فإذا خرجنا في فلاة من الأرض فيكون لنا أمير يأمرنا و ينهانا فإذا استقررنا في مصر من الأمصار أصبحنا نتبع ما يقوله والي هذه البلدة. فقياسات في غير موضعها و نصوص توضع في غير موضعها

Jika ada yang beralasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyariatkan pengangkatan pemimpin dalam sebuah perkumpulan orang yang jumlahnya sedikit dan berkumpul karena sebuah keperluan yaitu bepergian jauh maka tentu lebih layak lagi adanya pemimpin dalam perkumpulan yang besar dan terus menerus.

Kami katakan, memang namun masalah ini harus kita letakkan pada posisi yang tepat. Mengangkat pemimpin untuk sebuah rombongan orang yang mengadakan perjalanan jauh memang benar. Namun jika sudah tidak lagi bepergian, mengapa masih ada pengangkatan pemimpin? Jika tidak dalam kondisi bepergian, maka yang dijadikan acuan adalah aturan penguasa yang ada. Dalam kondisi ini, ada penguasa. Masyarakat pun mendengar dan taat dengan aturan penguasa. Nah, ketika kita bepergian baru kita memiliki pemimpin sementara yang mengatur kita selama dalam perjalanan. Sedangkan ketika kita berdomisili di suatu tempat maka kita mengikuti peraturan penguasa di daerah itu. Dalil di atas adalah analog yang tidak tepat dan dalil yang dipahami secara tidak tepat.

فأنتم طلبة العلم فقط تأخذون العلم, تستفيدون منه و تـنتفعون بالعلم. لا تشتغلون أنفسكم بالتكتلات. لا تشتغلون أنفسكم بتجمعات ضيقة. فلتكن آفاقكم واسعة. الخير من أي إنسان خذوه. والشر من أي إنسان دعوه. تربوا على علم نافع لتعرفوا على الحق. اعرف الحق تعرف رجاله. لا تعرف الحق بالرجال ولكن اعرف الحق تعرف رجاله. فإذا عرفتم الحق فخذوه من أي جماعات ومن أي طائفة و من أي عالم. و إذا عرفتم الباطل فاحذروا منه من أقرب الناس إليكم فضلا عن البعيد. و تعاونوا على البر و التقوى

Kalian adalah para penuntut ilmu. Kewajiban kalian hanyalah belajar dan mengamalkan ilmu yang telah didapat. Jangan sibukkan diri kalian dengan kelompok-kelompok yang sempit. Hendaklah kalian memiliki cakrawala yang luas.

Ambillah kebaikan dari semua orang dan tinggalkan keburukan dari setiap orang. Didiklah diri kalian sendiri dengan ilmu yang manfaat sehingga kalian mengetahui kebenaran. Kenalilah kebenaran, tentu kalian akan bisa mengetahui para pembelanya. Jangan ukur kebenaran dengan person tertentu. Jika kalian benar-benar mengetahui adanya sebuah kebenaran maka ambillah dari kelompok manapun dan ulama manapun. Jika kalian mengetahui adanya sebuah kebatilan maka jauhilah meski itu dikatakan oleh orang yang kita cintai, terlebih lagi jika selainnya. Hendaknya kalian saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan.

في الحقيقة يحصل الإفراط و التفريط. إما البيعة تمسك الناس بهذا التى ذكرت قبل القليل. و إما الفوضى و الفلتة. كل يذهب حيث ولا وجهه. هذا غير صحيح, لا هذا ولا ذاك.
أراد أصحاب البيعة أن يضبط العمل و أن يوجهه توجيحا صحيحا فسلكوا وسيلة خاطئة. و أراد أصحاب الفوضى و الفلتة أن ينكروا هذا التحزب و هذا التكتل فسلكوا وسيلة خاطئة. و هي الفوضى و التفلت. ليس هذا و لا ذاك. لا هذا الطريق صحيح ولا ذاك صحيح

Sebenarnya dalam realita, terdapat sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan. Ada fenomena bai’at untuk mengikat orang yang baru saja kita bahas. Ada juga kekacauan dan ketidakteraturan. Masing-masing orang berbuat sekehendaknya sendiri. Dua fenomena ini tidaklah benar baik yang pertama maupun yang kedua. Orang yang membuat-buat bai’at ingin meneraturkan kerja dakwah dan mengarahkannya dengan benar namun mereka menempuh jalan yang tidak benar. Sedangkan orang-orang yang memiliki fenomena ‘kekacauan’ sebenarnya ingin mengingkari fenomena kekelompokan namun mereka menempuh jalan yang keliru itulah kekacauan dan ketidakteraturan. Keduanya bukanlah jalan yang benar.

لا بد أن يكون أهل الحق متعاونين على البر و التقوي. لا بد أن يتناصروا. لا بد أن يعين بعضهم بعضا. وهذا لا بد فيه من الاجتماع ولكن يكون الاجتماع على وسيلة شرعية. و هذا هو السنة. ولذلك سموا أهل السنة و الجماعة. ما سموا باسم دون اسم, السنة و الجماعة. السنة في الاجتماع و الاجتماع في السنة. فعندما تتعاونون على البر و التقوي. تتعاونون على العلم و تتناصرون. يجتمع القادة في العمل و كبار الدعوة في المحافظة في المديرية, في الدولة, في العالم. و يتشاورون فيما بينهم, فيما يتعلق بالدعوة إلى غير ذلك. هذا الذي يرضي الله عز و جل

Pembela kebenaran haruslah tolong menolong dalam kebaikan, saling membela dan membantu. Untuk itu, harus ada perkumpulan namun perkumpulan dengan cara yang dibenarkan oleh syari’at. Inilah yang sesuai dengan sunnah. Oleh karena itu, para pembela kebenaran itu disebut ahli sunnah wal jamaah. Mereka tidak memiliki nama yang lain selain sunnah dan jamaah. Sunnah dalam berjamaah dan berjamaah (baca: bersatu) di atas sunnah. Saat kalian bekerja sama untuk melakukan kebaikan dan kalian saling tolong menolong dan saling membela dengan dasar ilmu, para senior dalam dakwah dan perjuangan dalam satu propinsi atau kabupaten atau negara atau dunia bisa berkumpul dan bermusyawarah membicarakan problematika dakwah dan yang lainnya. Inilah amal yang diridhoi oleh Allah.

وهنا السؤال؟ هل يمكن التعاون على البر و التقوي دون المبايعات هذه أو لا يمكن؟ هذا السؤال, يمكن أو لا يمكن؟ الجواب: يمكن. إذا ما نحتاج إليها. لو قيل: لا يمكن التعاون على البر و التقوي الا بها, قلنا: نعم. هي الوسيلة لا بد أن نعمل بها. لكن قد أثبت الواقع امكانية ذلك

Ada pertanyaan, “Apakah mungkin ada tolong menolong dalam kebaikan tanpa bai’at?” Jawabannya adalah mungkin. Jika demikian, kita tidak membutuhkan bai’at-bai’at semacam ini. Seandainya tidak mungkin tolong menolong dalam kebaikan kecuali dengan bai’at tentu akan kita katakan bahwa bai’at adalah sebuah sarana yang harus kita pakai. Akan tetapi realita membuktikan bahwa mungkin saja ada kerja sama dalam kebaikan tanpa bai’at.

الشيخ ابن باز عالم. علمه منتشر في المشارق و المغارب. الشيخ ابن عثيمن كذلك. الشيخ الألباني كذلك. العلماء كثيرون في المشارق و المغارب. انتشر علومهم و انتفع الناس بهم. و تعاونوا فيما بينهم. و تواصلوا فيما بينهم. وكل منهم يكمل الآخر دون بيعة تجمعهم و دون عهد يربطهم. ولكن كل منهم حمل هم الدعوة ثم أدرك أن أخاه في جانب أخر أو في ثغر أخر هو يقوم ببعض ما أوجب الله عليه فحث عليه و رغب الناس في الاستفادة منه. فحصل التعاون و حصل الخير

Syeikh Ibnu Baz adalah seorang ulama yang ilmunya tersebar di seluruh penjuru dunia. Demikian pula, Syeikh Ibnu Utsaimin dan Syeikh Al Albani. Terdapat banyak ulama di seluruh belahan dunia. Ilmu mereka tersebar dan banyak orang yang mendapatkan manfaat dengan keberadaan mereka. Para ulama saling bekerja sama dan saling berhubungan. Sebagian mereka melengkapi apa yang telah dilakukan oleh pihak lain tanpa ada bai’at yang menyatukan mereka dan tanpa ada perjanjian yang mengikat mereka. Masing-masing mereka memikirkan dakwah kemudian memahami bahwa saudaranya menekuni suatu bidang yang dengan itu maka dia telah melakukan sebagian kewajiban yang Allah bebankan kepadanya. Setelah itu, pihak yang lain memotivasi saudaranya tersebut untuk terus melakukan apa yang telah dia lakukan dan dia semangati umat untuk mengambil manfaat dari saudaranya. Dengan ini, ada kerja sama dan terwujudlah banyak kebaikan.

ما يكون التعاون الا بالبيعة المبتدعة و لا يكون التعاون الا بالبيعة المحدثة, هذا غير صحيح. نحن لا نسلم بأنه لا يصح أو لا يمكن اتمام العمل الا بالبيعة. نحن لا نسلم بهذه المقدمة. لو سلمنا بهذه المقدمة لقلنا بوجوبها. نحن لا نسلم بهذه المقدمة و الواقع خير دليل علي ذلك

Tidaklah benar anggapan yang mengatakan bahwa kerja sama dalam kebaikan hanya bisa diwujudkan dengan adanya baiat yang bid’ah dan mengada-ada. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Kami tidak menerima asumsi bahwa usaha memperjuangkan Islam hanya bisa terwujud dengan bai’at. Sekali lagi, asumsi ini tidak kami terima. Andai asumsi ini kami terima tentu kita katakan bahwa bai’at semacam ini hukumnya wajib. Asumsi ini kami tolak dan realita adalah bukti paling kuat yang menunjukkan tidak benarnya hal ini.

ولكن صحيح هناك ما عكر و كدرهذا الواقع عندما وجد من بعض السلفيين المخاطر و تضييع للجهود أو بعض الجهود ولكن هذا لم يكن فقط بسبب أنهم ليسوا مبايعين, لم يكن بسبب أنهم تركوا البيعة ولكن هذا للنـزغ عندهم و الطيش. عندهم طيش لا يفقهون. حصل منهم هذا. ولو كانوا مبايعين و عندهم طيش لفعلوا هذا أيضا

Memang beralasan dengan realita ini memang kurang tepat ketika jumpai sejumlah salafi melakukan hal-hal yang bersifat gambling dan membuang-buang energi atau sedikit energi. Namun hal ini terjadi bukan hanya dikarenakan mereka tidak terikat dengan bai’at dan menolak bai’at-bai’at semacam ini. Yang tepat, faktor pokok terjadinya hal tersebut adalah godaan setan sehingga sembrono dalam bertindak. Orang-orang tersebut sembrono dan tidak memahami permasalahan dengan tepat. Inilah yang sebenarnya terjadi. Andai mereka terikat dengan baiat, namun sembrono tersebut masih ada pada diri mereka maka mereka tetap akan melakukan hal tersebut.

لكن من فقه هذا الدين فقها صحيحا يتعاونون على البر و التقوي دون هذه البيعة التي في بلاد الإسلام و التي تفرقوا المسلمين و تشتت جهودهم و تغير صدور بعضهم على بعض. و الحمد لله الذي عافانا من هذا. و نسأل الله أن يتم مسيرتنا جميعا على خير

Siapa saja yang memahami agama ini dengan baik tentu akan bisa bekerja sama dalam kebaikan tanpa ada bai’at semacam ini. Bai’at yang ada di dalam negeri Islam semacam ini hanya memecah belah kaum muslimin dan mencerai beraikan hasil jerih payah mereka serta memancing emosi pihak-pihak tertentu. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kita dari hal ini. Kita memohon kepada Allah agar Allah menyempurnakan langkah-langkah kita dengan kebaikan.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar