Halaman Muka

Mengenai Saya

Foto saya
Kita bangun kebersamaan melalui komunikasi tanpa batas ini

Jumat, 09 April 2010

uu_no.11-2009 - Kesejahteraan Sosial




UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 11
TAHUN 2009


 


TENTANG


 


KESEJAHTERAAN SOSIAL


 


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
ESA


 


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


 


 


Menimbang class="Default__Char"> : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik I  ndonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara
mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia;




      1. bahwa untuk mewujudkan kehidupan
        yang layak dan bermartabat,
        serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi
        tercapainya kesejahteraan sosial, negara menyelenggarakan pelayanan
        dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah, dan
        berkelanjutan;

      2. bahwa Undang-Undang Nomor
        6 Tahun 1974 tentang Ketent
        uan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial sudah tidak
        sesuai dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
        sehingga perlu diganti;

      3. bahwa berdasarkan pertimbangan
        sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk
        class="Default__Char"> Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial;



 


 


Mengingat class="Default__Char">  : Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 ayat
(1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;


 


Dengan
Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


 


MEMUTUSKAN :


 


 


Menetapkan :  UNDANG-UNDANG TENTANG KESEJAHTERAAN
SOSIAL.


 


BAB I


KETENTUAN UMUM


 


Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud
kan dengan:



  1. Kesejahteraan Sosial adalah
    kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga
    negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga
    dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

  2. Penyelenggaraan Kesejahteraan
    Sosial ad
    alah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
    yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk
    pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara,
    yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaa
    class="Default__Char">n sosial, dan perlindungan sosial.

  3. Tenaga Kesejahteraan Sosial
    adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan
    tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang
    yang bekerja, baik di lembaga pemerintah
    maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang
    kesejahteraan sosial.

  4. Pekerja Sosial Profesional
    adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta
    yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian
    dalam pek
    erjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan,
    pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan
    tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

  5. Relawan Sosial adalah seseorang
    dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlat
    ar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar
    belakang pekerjaan sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan
    di bidang sosial bukan di instansi sosial pemerintah atas kehendak sendiri
    dengan atau tanpa imbalan.

  6. Pelaku Penyelenggaraan Kesejah class="Default__Char">teraan Sosial adalah individu, kelompok, lembaga kesejahteraan sosial,
    dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

  7. Lembaga Kesejahteraan Sosial
    adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan
    class="Default__Char"> kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan
    hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

  8. Rehabilitasi Sosial adalah
    proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang
    mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wa
    jar dalam kehidupan masyarakat.

  9. Perlindungan Sosial adalah
    semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari
    guncangan dan kerentanan sosial.

  10. Pemberdayaan Sosial adalah
    semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang menga
    class="Default__Char">lami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan
    dasarnya.

  11. Jaminan Sosial adalah skema
    yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan
    dasar hidupnya yang layak.

  12. Warga Negara adalah warga
    negara Republik In
    donesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  13. Pemerintah Pusat, selanjutnya
    disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
    kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
    dalam Undang-Undang
    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  14. Pemerintah Daerah adalah gubernur,
    bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
    pemerintahan daerah.

  15. Menteri adalah menteri yang
    membidangi urusan sosial.


 


BAB II


ASAS DAN
TUJUAN


 


Pasal 2


Penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dilakukan berdasarkan asas:



  1. kesetiakawanan;

  2. keadilan;

  3. kemanfaatan;

  4. keterpaduan;

  5. kemitraan;

  6. keterbukaan;

  7. akuntabilitas;

  8. partisipasi;

  9. profesionalitas; dan

  10. keberlanjutan.


 


Pasal 3


Penyelenggaraan kesejahte class="Default__Char">raan sosial bertujuan:



  1. meningkatkan taraf kesejahteraan,
    kualitas, dan kelangsungan hidup;

  2. memulihkan fungsi sosial dalam
    rangka mencapai kemandirian;

  3. meningkatkan ketahanan sosial
    masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial;

  4. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab
    sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara
    melembaga dan berkelanjutan;

  5. meningkatkan kemampuan dan
    kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara
    melemb
    aga dan berkelanjutan; dan

  6. meningkatkan kualitas manajemen
    penyelenggaraan kesejahteraan sosial.


 


BAB III


PENYELENGGARAAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL


 


Bagian Kesatu


Umum


 


Pasal 4


Negara bertanggung jawab atas
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.


 


Pasal 5



  1. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada:



  1. perseorangan;



  1. keluarga;

  2. kelompok; dan/atau

  3. masyarakat.



  1. Penyelenggaraan kesejahteraan
    sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada mereka
    yang memiliki kehidupan yang tidak layak sec
    ara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial:



  1. kemiskinan;

  2. ketelantaran;

  3. kecacatan;

  4. keterpencilan;

  5. ketunaan sosial dan penyimpangan
    perilaku;

  6. korban bencana; dan/atau

  7. korban tindak kekerasan, eksploitasi
    dan diskriminasi.


 


Pasal 6


Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:



  1. rehabilitasi sosial;

  2. jaminan sosial;

  3. pemberdayaan sosial; dan

  4. perlindungan sosial.


 


Bagian
Kedua


Rehabilitasi
Sosial


 


Pasal 7



  1. Rehabilitasi sosial dimaksudkan
    untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang y
    class="Default__Char">ang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya
    secara wajar.

  2. Rehabilitasi sosial sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif,
    koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.

  3. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
    diberikan dalam bentuk:



  1. motivasi dan diagnosis psikososial;



  1. perawatan dan pengasuhan;

  2. pelatihan vokasional dan pembinaan
    kewirausahaan;

  3. bimbingan mental spiritual;

  4. bimbingan fisik;

  5. bimbingan sosial class="Default__Char">dan konseling psikososial;

  6. pelayanan aksesibilitas;

  7. bantuan dan asistensi sosial;

  8. bimbingan resosialisasi;

  9. bimbingan lanjut; dan/atau

  10. rujukan.


 


Pasal 8


Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan rehabilitasi sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.


 


Bagian
Ketiga


Jaminan
Sosial


 


Pasal 9



    1. Jaminan sosial dimaksudkan
      untuk:




  1. menjamin fakir miskin, anak
    yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik,
    cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis
    yang mengalami
    masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan
    dasarnya terpenuhi.



  1. menghargai pejuang, perintis
    kemerdekaan, dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya.


    1. Jaminan sosial sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk asuransi kesejah
      class="Default__Char">teraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan.

    2. Jaminan sosial sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan dalam bentuk tunjangan berkelanjutan.


 


Pasal 10



  1. Asuransi kesejahteraan sosial
    diselenggarakan untuk melindungi warga negara yang tidak m
    class="Default__Char">ampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf
    kesejahteraan sosialnya.

  2. Asuransi kesejahteraan sosial
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk bantuan iuran
    oleh Pemerintah.


 


Pasal 11


Ketentuan lebih lanjut mengenai
p
elaksanaan jaminan sosial diatur dalam Peraturan
Pemerintah.


 


Bagian
Keempat


Pemberdayaan
Sosial


 


Pasal 12



  1. Pemberdayaan sosial dimaksudkan
    untuk:



  1. memberdayakan seseorang, keluarga,
    kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial
    agar
    mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.



  1. meningkatkan peran serta lembaga
    dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan
    kesejahteraan sosial.



  1. Pemberdayaan sosial sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:



    1. peningkatan kemauan dan kemampuan;

    2. penggalian potensi dan sumber
      daya;

    3. penggalian nilai-nilai dasar;

    4. pemberian akses; dan/atau

    5. pemberian bantuan usaha.




  1. Pemberdayaan sosial sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam bentuk:



    1. diagnosis dan class="Default__Char">pemberian motivasi;

    2. pelatihan keterampilan;

    3. pendampingan;

    4. pemberian stimulan modal,
      peralatan usaha, dan tempat usaha;

    5. peningkatan akses pemasaran
      hasil usaha;

    6. supervisi dan advokasi sosial;

    7. penguatan keserasian sosial;

    8. penataan lingkungan; dan/atau

    9. bimbingan lanjut.




  1. Pemberdayaan sosial sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam bentuk:



    1. diagnosis dan pemberian motivasi;

    2. penguatan kelembagaan masyarakat;

    3. kemitraan dan penggalangan
      dana; dan/atau

    4. pemberian stimulan.


 


Pasal 13


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberdayaan
sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.


 


Bagian
Kelima


Perlindungan
Sosial


 


Pasal 14



  1. Perlindungan sosial dimaksudkan
    untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial
    seseorang
    , keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan
    hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.

  2. Perlindungan sosial sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:



  1. bantuan sosial;



  1. advokasi sosial; dan/atau

  2. bantuan hukum.


 


Pasal 15



      1. Bantuan sosial dimaksudkan
        agar seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami
        guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.

      2. Bantuan sosial sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dan/atau
        berkelanjutan dalam bentuk:




  1. bantuan langsung;



  1. penyediaan aksesibilitas;
    dan/atau

  2. penguatan kelembagaan.


 


Pasal 16



    1. Advokasi sosial dimaksudkan
      untuk melindungi dan membela seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau
      masyarakat yang dilanggar haknya.

    2. Advokasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
      dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan
      hak.


 


Pasal 17



  1. Bantuan hukum diselenggarakan
    untuk mewakili kepentingan warga negara yang menghadapi masalah hukum
    dalam pembelaan
    atas hak, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

  2. Bantuan hukum sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk pembelaan dan konsultasi
    hukum.


 


Pasal 18


Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan perlindungan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.


 


BAB IV


PENANGGULANGAN
KEMISKINAN


 


Pasal 19


Penanggulangan kemiskinan
merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang,
ke
luarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai
atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
yang layak bagi kemanusiaan.


 


Pasal 20


Penanggulangan kemiskinan
ditujukan untuk:



    1. meningkatkan kapasitas dan
      mengembangkan
      kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat
      miskin;

    2. memperkuat peran masyarakat
      miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan,
      perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;

    3. mewujudkan kondisi dan lingkungan
      ekonomi,
      politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat
      miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak
      dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan

    4. memberikan rasa aman bagi
      kelompok masyarakat miskin dan rentan.


 


Pasal class="Default__Char"> 21


Penanggulangan kemiskinan
dilaksanakan dalam bentuk:



  1. penyuluhan dan bimbingan sosial;

  2. pelayanan sosial;

  3. penyediaan akses kesempatan
    kerja dan berusaha;

  4. penyediaan akses pelayanan
    kesehatan dasar;

  5. penyediaan akses pelayanan
    pendidikan dasar;

  6. penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman; dan/atau

  7. penyediaan akses pelatihan,
    modal usaha, dan pemasaran hasil usaha.


 


Pasal 22


Pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 menjadi tanggung jawab
Menteri.


 


Pasal 23


Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kemiskinan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.


 


BAB V


TANGGUNG
JAWAB DAN WEWENANG


 


Bagian Kesatu


Umum


 


Pasal 24



    1. Penyelenggaraan kesejahteraan
      sosial menjadi tanggung jawab:




  1. Pemerintah; dan



  1. Pemerintah daerah.


    1. Tanggung jawab penyelenggaraan
      kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
      oleh Menteri.

    2. Tanggung jawab penyelenggaraan
      kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan:


  2. untuk tingkat provinsi class="Default__Char"> oleh gubernur;

  3. untuk tingkat kabupaten/kota
    oleh bupati/walikota.


 


Bagian
Kedua


Pemerintah


 


Pasal 25


Tanggung jawab Pemerintah
dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:



    1. merumuskan kebijakan dan program
      penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

    2. menyediakan akses penyelenggaraan
      kesejahteraan sosial;

    3. melaksanakan rehabilitasi
      sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    4. memberikan bantuan sosial
      sebagai stimulan kepad
      a masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan
      sosial;

    5. mendorong dan memfasilitasi
      masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya;

    6. meningkatkan kapasitas kelembagaan
      dan sumber daya manusia di bidang kesejahteraan sosial;

    7. menetapkan standar pelayanan, registrasi, akreditasi,
      dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial;

    8. melaksanakan analisis dan
      audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktivitas pembangunan;

    9. menyelenggarakan pendidikan
      dan penelitian kesejahteraan sosial
      ;

    10. melakukan pembinaan dan pengawasan
      serta pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan
      sosial;

    11. mengembangkan jaringan kerja
      dan koordinasi lintas pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial tingkat
      nasional dan internasional dalam peny
      elenggaraan kesejahteraan sosial;

    12. memelihara taman makam pahlawan
      dan makam pahlawan nasional;

    13. melestarikan nilai kepahlawanan,
      keperintisan, dan kesetiakawanan sosial; dan

    14. mengalokasikan anggaran untuk
      penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Anggara
      n Pendapatan dan Belanja Negara.


 


Pasal 26


Wewenang Pemerintah dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:



  1. penetapan kebijakan dan program
    penyelenggaraan kesejahteraan sosial selaras dengan kebijakan pembangunan
    nasional;

  2. penetapan standar pel class="Default__Char">ayanan minimum, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan
    kesejahteraan sosial;

  3. koordinasi pelaksanaan program
    penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

  4. pelaksanaan kerja sama dalam
    penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan negara lain, dan lembaga
    class="Default__Char"> kesejahteraan sosial, baik nasional maupun internasional;

  5. pemberian izin dan pengawasan
    pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial;

  6. pendayagunaan dana yang berasal
    dari dunia usaha dan masyarakat;

  7. pemeliharaan taman makam pahlawan
    dan makam pa
    hlawan nasional; dan

  8. pelestarian nilai kepahlawanan,
    keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.


 


Bagian
Ketiga


Pemerintah
Daerah


 


Pasal 27


Tanggung jawab pemerintah
provinsi dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:



  1. mengalokasikan anggaran unt class="Default__Char">uk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan
    dan belanja daerah;

  2. melaksanakan penyelenggaraan
    kesejahteraan sosial lintas kabupaten/kota, termasuk dekonsentrasi dan
    tugas pembantuan;

  3. memberikan bantuan sosial
    sebagai stimulan kepada
    masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;

  4. memelihara taman makam pahlawan;
    dan

  5. melestarikan nilai kepahlawanan,
    keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.


 


Pasal 28


Wewenang pemerintah provinsi
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial melip
uti:



  1. penetapan kebijakan penyelenggaraan
    kesejahteraan sosial yang bersifat lintas kabupaten/kota selaras dengan
    kebijakan pembangunan nasional di bidang kesejahteraan sosial;

  2. penetapan kebijakan kerja
    sama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial deng
    an lembaga kesejahteraan sosial nasional;

  3. pemberian izin dan pengawasan
    pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya;

  4. koordinasi pelaksanaan program
    penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

  5. pemeliharaan taman makam pahlaw class="Default__Char">an; dan

  6. pelestarian nilai kepahlawanan,
    keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.


 


Pasal 29


Tanggung jawab pemerintah
kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:



  1. mengalokasikan anggaran untuk
    penyelenggaraan kesejahteraan sosial
    dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah;

  2. melaksanakan penyelenggaraan
    kesejahteraan sosial di wilayahnya/bersifat lokal, termasuk tugas pembantuan;

  3. memberikan bantuan sosial
    sebagai stimulan kepada masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan
    sosi
    al;

  4. memelihara taman makam pahlawan;
    dan

  5. melestarikan nilai kepahlawanan,
    keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.


 


Pasal 30


Wewenang pemerintah kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:



  1. penetapan kebijakan penyelenggaraan
    kes
    ejahteraan sosial yang bersifat lokal selaras dengan
    kebijakan pembangunan nasional dan provinsi di bidang kesejahteraan
    sosial;

  2. koordinasi pelaksanaan program
    penyelenggaraan kesejahteraan sosial di wilayahnya;

  3. pemberian izin dan pengawasan
    pengumpulan
    sumbangan dan penyaluran bantuan sosial sesuai dengan
    kewenangannya;

  4. pemeliharaan taman makam pahlawan;
    dan

  5. pelestarian nilai kepahlawanan,
    keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.


 


Pasal 31


Pemerintah dan pemerintah
daerah melakukan koordinasi dalam pe
rencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.


 


BAB VI


SUMBER
DAYA PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


 


Bagian Kesatu


Umum


 


Pasal 32


Sumber daya penyelenggaraan
kesejahteraan sosial meliputi:



    1. sumber daya manusia;

    2. sarana dan prasarana; serta

    3. sumber pendanaan.


 


Bagian
Kedua


Sumber
Daya Manusia


 


Pasal 33



    1. Sumber daya manusia sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 32 huruf a terdiri atas:




  1. tenaga kesejahteraan sosial;



  1. pekerja sosial profesional;

  2. relawan sosial; dan

  3. penyuluh sosial.


    1. Tenaga kesejahteraan sosial,
      pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d sekurang-kurangnya memiliki
      kualifikasi:


  4. pendidikan di bidang kesejahteraan
    sosial;

  5. pelatihan dan keteramp class="Default__Char">ilan pelayanan sosial; dan/atau

  6. pengalaman melaksanakan pelayanan
    sosial.


 


Pasal 34



      1. Tenaga kesejahteraan sosial,
        pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d dapat memperoleh:




  1. pendidikan;



  1. pelatihan;

  2. promosi;

  3. tunjangan; dan/atau

  4. penghargaan.


      1. Ketentuan sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 


Bagian
Ketiga


Sarana
dan Prasarana


 


Pasal 35



    1. Sarana dan prasarana sebag class="Default__Char">aimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b meliputi:




  1. panti sosial;



  1. pusat rehabilitasi sosial;

  2. pusat pendidikan dan pelatihan;

  3. pusat kesejahteraan sosial;

  4. rumah singgah;

  5. rumah perlindungan sosial.


    1. Sarana dan prasarana sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) m
      emiliki standar minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah.

    2. Ketentuan lebih lanjut mengenai
      standar sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
      dengan Peraturan Pemerintah.


 


Bagian
Keempat


Sumber
Pendanaan


 


Pasal 36



    1. Sumber pendanaan sebag class="Default__Char">aimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf c meliputi:



    1. Anggaran Pendapatan dan Belanja
      Negara;

    2. anggaran pendapatan dan belanja
      daerah;

    3. sumbangan masyarakat;

    4. dana yang disisihkan dari
      badan usaha sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan;

    5. bantuan asing sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan
      peraturan perundang-undangan; serta

    6. sumber pendanaan yang sah
      berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.



    1. Pengalokasian sumber pendanaan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dil
      class="Default__Char">aksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    2. Pengumpulan dan penggunaan
      sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
      huruf e, dan huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.


 


Pasa class="Default__Char">l 37


Usaha pengumpulan dan penggunaan
sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat bagi kepentingan kesejahteraan
sosial selain sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 36 ayat (3) dilaksanakan
oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
class="Default__Char">.


 


BAB VII


PERAN MASYARAKAT


 


Pasal 38



      1. Masyarakat mempunyai kesempatan
        yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan
        sosial.

      2. Peran sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:




  1. perseorangan;



  1. keluarga;

  2. organisasi keag class="Default__Char">amaan;

  3. organisasi sosial kemasyarakatan;

  4. lembaga swadaya masyarakat;

  5. organisasi profesi;

  6. badan usaha;

  7. lembaga kesejahteraan sosial;
    dan

  8. lembaga kesejahteraan sosial
    asing.


      1. Peran sebagaimana dimaksud
        pada ayat (2) dilakukan untuk mendukung keberhasil
        an penyelenggaraan kesejahteraan sosial.


 


Pasal 39



    1. Organisasi profesi sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf f, terdiri atas :




  1. ikatan pekerja sosial profesional;



  1. lembaga pendidikan pekerjaan
    sosial; dan

  2. lembaga kesejahteraan sosial.


    1. Untuk menjaga dan menegakkan profesionalisme, organisasi
      profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan kode etik.


 


Pasal 40


Peran badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 huruf g dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial dilakukan sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 


Pasal 41


Pemerintah memberikan class="Default__Char"> penghargaan dan dukungan kepada masyarakat yang berperan dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.


 


Pasal 42



  1. Untuk melaksanakan peran masyarakat
    dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat dilakukan koordinasi
    antar lembaga/organisasi sosial.

  2. Pelaksanaan koordinasi peyelenggaraan kesejahteraan
    sosial oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan
    dengan membentuk suatu lembaga koordinasi kesejahteraan sosial nonpemerintah
    dan bersifat terbuka, independen, serta mandiri.

  3. Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial nonpemerintah, sebagaimana
    dimaksud pada ayat (2), dibentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan
    kabupaten/kota.

  4. Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial baik pada
    tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota sebagaimana d
    class="Default__Char">imaksud pada ayat (3) bersifat otonom, dan bukan merupakan lembaga
    yang mempunyai hubungan hierarki.


 


Pasal 43


Lembaga koordinasi kesejahteraan
sosial mempunyai tugas:



  1. mengkoordinasikan organisasi/lembaga
    sosial;

  2. membina organisasi/lembaga
    sosial;

  3. mengembangkan model pelayanan kesejahteraan sosial;

  4. menyelenggarakan forum komunikasi
    dan konsultasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan

  5. melakukan advokasi sosial
    dan advokasi anggaran terhadap lembaga/organisasi sosial.


 


Pasal 44


Pembentukan lembaga class="Default__Char">koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 


Pasal 45


Ketentuan lebih lanjut mengenai
peran masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


 


BAB VIII


PENDAFTARAN
DAN PERIZINAN
LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL


 


Pasal 46



    1. Setiap lembaga yang menyelenggarakan
      kesejahteraan sosial wajib mendaftar kepada kementerian atau instansi
      di bidang sosial sesuai dengan wilayah kewenangannya.

    2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilaksan
      akan dengan cepat, mudah, dan tanpa biaya.


 


Pasal 47


Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib mendata lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial.


Pasal 48


Lembaga kesejahteraan sosial
asing dalam melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebag
class="Default__Char">aimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf i wajib memperoleh izin
dan melaporkan kegiatannya kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.


 


Pasal 49


Pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (
1) dan Pasal 48 dikenai sanksi administratif berupa:



  1. peringatan tertulis;

  2. penghentian sementara dari
    kegiatan;

  3. pencabutan izin; dan/atau

  4. denda administratif.


 


Pasal 50


Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pendaftaran bagi lembaga yang menyelengga
rakan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46, dan pemberian izin penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi
lembaga kesejahteraan sosial asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48, serta mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


 


BAB IX


AKREDITASI
DAN SERTIFIKASI


 


Pasal 51



    1. Akreditasi dilakukan terhadap
      lembaga di bidang kesejahteraan sosial.

    2. Akreditasi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilaksanakan untuk menentukan tin
      gkat kelayakan dan standardisasi penyelenggaraan
      kesejahteraan sosial.


 


Pasal 52



    1. Sertifikasi dilakukan untuk
      menentukan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai di bidang penyelenggaraan
      kesejahteraan sosial.

    2. Sertifikasi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1)
      berbentuk sertifikat.

    3. Sertifikat sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) diberikan kepada pekerja sosial profesional dan tenaga
      kesejahteraan sosial yang telah menyelesaikan suatu pendidikan dan/atau
      pelatihan.

    4. Sertifikat kompetensi sebagaimana
      dimaksud pada
      ayat (2) diberikan kepada pekerja sosial profesional
      dan tenaga kesejahteraan sosial oleh lembaga sertifikasi.

    5. Pemberian sertifikat sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) dilakukan atas rekomendasi organisasi profesi
      sesuai dengan kewenangannya sebagai pengak
      uan terhadap kompetensi melakukan praktek pekerjaan
      sosial.

    6. Sertifikat sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4) diberikan setelah lulus uji kompetensi sebagai pengakuan
      terhadap kompetensi dalam melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
      tertentu.


 


Pasal 5 class="Default__Char">3


Ketentuan lebih lanjut mengenai
akreditasi dan sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.


 


BAB X


PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN SERTA PEMANTAUAN DAN EVALUASI


 


Pasal 54



  1. Pemerintah dan pemerintah
    daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas pel
    class="Default__Char">aku penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan kewenangannya
    masing-masing.

  2. Masyarakat dapat melakukan
    pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas pelaku penyelenggaraan kesejahteraan
    sosial.


 


Pasal 55



  1. Pemerintah dan pemerintah
    daerah melakukan p
    emantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan
    sosial sesuai dengan kewenangannya.

  2. Pemantauan dan evaluasi sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas dan pengendalian
    mutu penyelenggaraan kesejahteraan sosial.


 


Pasal 56


Pembinaan dan pengawasan,
serta pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan
Pasal 55 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 


BAB XI


KETENTUAN PENUTUP


 


Pasal 57


Pada saat mulai berlakunya
Undang-U
ndang ini, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3039) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


 


Pasa class="Default__Char">l 58


Peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039) yang ada pada saat diun
class="Default__Char">dangkannya Undang-Undang ini, masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang ini.


 


Pasal 59


Peraturan pelaksanaan Undang-Undang
ini harus sudah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya
Undang-Un
dang ini.


 


 


Pasal 60


Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.


 


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.


 


class="Default__Char" style="
text-decoration: none;">Disahkan di Jakarta


class="Default__Char" style="
text-decoration: none;">pada tanggal 16 Januari 2009


class="Default__Char">PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


class="Default__Char">                       
ttd.


class="Default__Char" style=" text-decoration: none;">DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


 


 


 


 


Diundangkan di Jakarta


pada tanggal 16 Januari 2009


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,


              
ttd.


ANDI MATTALATTA


 


 


 


 


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2009 NOMOR 12


 


PENJELASAN


A T A S


UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 11
TAHUN 2009
……….


TENTANG


KESEJAHTERAAN
SOSIAL


 



      1. UMUM


 


Pembangunan kesejahteraan
sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapa
i tujuan bangsa yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sila kelima Pancasila menyatakan
bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.


 


Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang
dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak
atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan
sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami
hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan
secara layak dan bermartabat.


 


Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara
fakir miskin dan anak terlantar. Bagi fakir miskin dan anak terlantar
seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial
sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya
hak atas kebutuhan dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.


 


Dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diperlukan
peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi
keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, maupun
lembaga kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan
sosial yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan.


 


Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warga
negara, serta untuk menghadapi tantangan dan perkembangan kesejahteraan
sosial di tingkat lokal, nasional, dan global, perlu dilakukan penggantian
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial. Materi pokok yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain,
pemenuhan hak atas kebutuhan dasar, penyelenggaraan kesejahteraan sosial
secara komprehensif dan profesional, serta perlindungan masyarakat.
Untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial, Undang-Undang ini juga mengatur pendaftaran dan perizinan serta
sanksi administratif bagi lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan
sosial. Dengan demikian, penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat
memberikan keadilan sosial bagi warga negara untuk dapat hidup secara
layak dan bermartabat.


 


 



      1. PASAL DEMI
        PASAL


 


Pasal 1


Cukup jelas.


 


Pasal 2


Huruf a


Yang dimaksud dengan “asas
kesetiakawanan”
adalah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
harus dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang yang membutuhkan
pertolongan dengan empati dan kasih sayang (
Tat Twam Asi).


 


Huruf b


Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus menekankan pada aspek pemerataan,
tidak diskriminatif dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.


Huruf c


Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus memberi manfaat bagi
peningkatan kualitas hidup warga negara.


Huruf d


Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus mengintegrasikan berbagai
komponen yang terkait sehingga dapat berjalan secara terkoordinir dan
sinergis.


Huruf e


Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah
dalam menangani masalah kesejahteraan sosial diperlukan kemitraan antara
Pemerintah dan masyarakat, Pemerintah sebagai penanggung jawab dan masyarakat
sebagai mitra Pemerintah dalam menangani permasalahan kesejahteraan
sosial dan peningkatan kesejahteraan sosial.


Huruf f


Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang terkait dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.


Huruf g


Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah
dalam setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Huruf h


Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah
dalam setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus melibatkan seluruh
komponen masyarakat.


Huruf i


Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah
dalam setiap penyelenggaraan kesejahteraan sosial kepada masyarakat
agar dilandasi dengan profesionalisme sesuai dengan lingkup tugasnya
dan dilaksanakan seoptimal mungkin.


Huruf j


Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah
dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial dilaksanakan secara berkesinambungan,
sehingga tercapai kemandirian.


 


Pasal 3


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan “memulihkan fungsi sosial”
adalah pengembangan dan peningkatan kualitas diri, baik secara psikologis,
fisik, sosial, maupun potensi diri lainnya.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


 


Pasal 4


Cukup jelas.


 


Pasal 5


Cukup jelas.


 


Pasal 6


Cukup jelas.


 


Pasal 7


Ayat (1)


Seseorang yang mengalami disfungsi sosial antara
lain penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, tuna
susila, gelandangan, pengemis, eks penderita penyakit kronis, eks narapidana,
eks pecandu narkotika, pengguna psikotropika sindroma ketergantungan,
orang dengan HIV/AIDS (ODHA), korban tindak kekerasan, korban bencana,
korban perdagangan orang, anak terlantar, dan anak dengan kebutuhan
khusus.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “koersif” yaitu tindakan
pemaksaan dalam proses rehabilitasi sosial.


Ayat (3)


Cukup jelas.


 


Pasal 8


Cukup jelas.


 


Pasal 9


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “asura class="Default__Char">nsi kesejahteraan sosial” yaitu asuransi yang secara khusus diberikan
kepada warga negara tidak mampu dan tidak terakses oleh sistem asuransi
sosial pada umumnya yang berbasis pada kontribusi peserta.


Yang dimaksud dengan “bantuan langsung berkelanjutan”
yaitu bantuan yang diberikan secara terus menerus untuk mempertahankan
taraf kesejahteraan sosial dan upaya untuk mengembangkan kemandirian.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan “tunjangan berkelanjutan”
yaitu bantuan yang diberikan kepada perintis kemerdekaan dan putra-putri
pahlawan nasional antara lain dalam bentuk tunjangan kesehatan dan tunjangan
pendidikan.


 


Pasal 10


Cukup jelas.


 


Pasal 11


Cukup jelas.


 


Pasal 12


Ayat (1)


Huruf a


Yang dimaksud dengan “yang mengalami masalah kesejahteraan
sosial” yaitu mereka yang miskin, terpencil, rentan sosial ekonomi.


Huruf b


Yang dimaksud dengan “lembaga dan/atau perseorangan”
antara lain organisasi sosial, lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga,
karang taruna, pekerja sosial masyarakat.


Yang dimaksud dengan “potensi dan sumber daya dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial”, antara lain: nilai kepahlawanan,
kejuangan, dan keperintisan, kesetiakawanan sosial dan kearifan lokal,
peranserta organisasi sosial/lembaga sosial swadaya masyarakat, kerelawanan
sosial (tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, karang taruna, pekerja
sosial masyarakat), tanggung jawab sosial dunia usaha, penggalangan
dana sosial, dan ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesejahteraan
sosial.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


 


Pasal 13


Cukup jelas.


 


Pasal 14


Ayat (1)


Yang dimaksud dengan “guncangan dan kerentanan
sosial” yaitu keadaan tidak stabil yang terjadi secara tiba-tiba sebagai
akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan fenomena
alam.


Ayat (2)


Cukup jelas.


 


Pasal 15


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Bentuk bantuan sosial antara lain makanan pokok,
pakaian, tempat tinggal (rumah penampungan sementara), dana tunai, perawatan
kesehatan dan obat-obatan, akses pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan),
bimbingan teknis/supervisi, dan penyediaan pemakaman.


 


Pasal 16


Cukup jelas.


 


Pasal 17


Cukup jelas.


 


Pasal 18


Cukup jelas.


 


Pasal 19


Cukup jelas.


 


Pasal 20


Cukup jelas.


 


Pasal 21


Cukup jelas.


 


Pasal 22


Cukup jelas.


 


Pasal 23


Cukup jelas.


 


Pasal 24


Cukup jelas.


 


Pasal 25


Cukup jelas.


 


Pasal 26


Cukup jelas.


 


Pasal 27


Cukup jelas.


 


Pasal 28


Cukup jelas.


 


Pasal 29


Cukup jelas.


 


Pasal 30


Cukup jelas.


 


Pasal 31


Cukup jelas.


 


Pasal 32


Cukup jelas.


 


Pasal 33


Cukup jelas.


 


Pasal 34


Cukup jelas.


 


Pasal 35


Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Yang termasuk pusat kesejahteraan sosial antara lain
pesantren dan rumah adat.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


 


Pasal 36


Cukup jelas.


 


Pasal 37


Cukup jelas.


 


Pasal 38


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Yang termasuk “organisasi sosial kemasyarakatan”
antara lain organisasi kepemudaan, dan paguyuban.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Cukup jelas.


Huruf h


Cukup jelas.


Huruf i


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


 


Pasal 39


Cukup jelas.


 


Pasal 40


Cukup jelas.


 


Pasal 41


Cukup jelas.


 


Pasal 42


Cukup jelas.


 


Pasal 43


Cukup jelas.


 


Pasal 44


Cukup jelas.


 


Pasal 45


Cukup jelas.


 


Pasal 46


Cukup jelas.


 


Pasal 47


Cukup jelas.


 


Pasal 48


Cukup jelas.


 


Pasal 49


Cukup jelas.


 


Pasal 50


Cukup jelas.


 


Pasal 51


Cukup jelas.


 


Pasal 52


Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Yang dimaksud dengan “lembaga
sertifikasi” yaitu lembaga independen yang menjamin mutu kompetensi
dan kualifikasi bagi pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial
dalam pelayanan kesejahteraan sosial.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


 


Pasal 53


Cukup jelas.


 


Pasal 54


Cukup jelas.


 


Pasal 55


Cukup jelas.


 


Pasal 56


Cukup jelas.


 


Pasal 57


Cukup jelas.


 


Pasal 58


Cukup jelas.


 


Pasal 59


Cukup jelas.


 


Pasal 60


Cukup jelas.


 


 


 


 


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 4967













Tidak ada komentar:

Posting Komentar